Oleh: R. Dwi Safra Yuli
Di balik kemajuan layanan kesehatan yang semakin modern, Provinsi Riau menyimpan ironi besar: masih banyak anak yang belum tersentuh imunisasi dasar. Fenomena ini mencerminkan anomali dalam sistem kesehatan, karena seharusnya hak setiap anak atas perlindungan dari penyakit menular sudah menjadi standar minimum. Seperti halnya suara “tung-tung sahur” yang membangunkan kita di pagi buta, fakta ini seharusnya menggugah kesadaran kolektif ada hak anak-anak yang selama ini terabaikan dalam diam.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa Riau menjadi salah satu wilayah dengan jumlah anak zero dose tertinggi di Indonesia. Anak-anak ini belum pernah menerima imunisasi dasar seperti BCG, polio, DPT, hepatitis B, maupun campak. Padahal, imunisasi telah lama diakui sebagai salah satu cara paling efektif dalam mencegah penyakit berbahaya yang dapat berdampak jangka panjang. Persoalan ini tidak berdiri sendiri, ia berkaitan erat dengan berbagai kendala, mulai dari kondisi geografis yang sulit diakses, minimnya fasilitas transportasi, hingga rendahnya literasi kesehatan masyarakat. Banyak wilayah di Riau yang terletak di kawasan lahan basah atau pesisir, membuat tenaga kesehatan kesulitan menjangkau masyarakat yang tinggal jauh dari pusat layanan. Selain itu, masih banyak orang tua yang termakan isu keliru atau hoaks tentang vaksinasi, seperti anggapan bahwa vaksin tidak halal atau menyebabkan efek samping berat.
Namun, di tengah situasi yang penuh tantangan tersebut, secercah harapan mulai muncul. Pemerintah Provinsi Riau, bersama TP-PKK dan dinas terkait, telah menginisiasi Program Intervensi Zero Dose. Program ini mengedepankan pendekatan aktif dan kolaboratif, seperti strategi jemput bola (door-to-door), imunisasi kejar, serta pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kader desa. Strategi ini menandai pergeseran paradigma dari pelayanan kesehatan yang bersifat pasif ke model aktif partisipatif, di mana masyarakat diposisikan bukan sekadar sebagai penerima manfaat, tetapi sebagai mitra dalam perubahan. Langkah ini selaras dengan pendekatan Community-Based Participatory Health Promotion, yang menekankan bahwa keberhasilan intervensi kesehatan sangat tergantung pada keterlibatan komunitas secara aktif. Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai subjek yang memiliki potensi, bukan objek pasif. Melibatkan tokoh lokal seperti ustaz, penghulu adat, dan guru ngaji dalam kampanye imunisasi terbukti lebih efektif dalam menjangkau lapisan masyarakat yang sebelumnya tertutup terhadap program pemerintah.
Untuk memperkuat dampak program, dibutuhkan strategi yang sistemik dan berkelanjutan. Pertama, perlu ada edukasi komunitas yang intensif dan berkesinambungan. Edukasi tidak boleh hanya dilakukan saat program berlangsung, tetapi menjadi bagian dari agenda rutin Puskesmas melalui posyandu, kelas ibu balita, dan kegiatan keagamaan. Kedua, harus dilakukan penguatan pelayanan kesehatan primer, termasuk mobilisasi puskesmas keliling ke daerah-daerah sulit akses. Ketiga, perlu dikembangkan sistem digital untuk pelacakan anak-anak zero dose secara real-time, sehingga tidak ada lagi anak yang terlewatkan karena keterbatasan data, dan yang tak kalah penting, perlu kerja sama lintas sektor, termasuk dinas pendidikan, tokoh agama, media lokal, dan komunitas adat untuk membangun kesadaran kolektif.
Imunisasi bukan hanya urusan medis semata, melainkan bentuk investasi jangka panjang dalam membangun generasi yang sehat, kuat, dan tangguh. Anak-anak yang tidak diimunisasi hari ini sangat rentan terhadap penyakit menular seperti polio, campak, dan difteri yang bisa menyebabkan kecacatan permanen atau bahkan kematian. Maka, memberikan imunisasi sama artinya dengan memberi perlindungan dan masa depan yang lebih cerah. Sudah saatnya kita semua, tenaga kesehatan, orang tua, kader desa, tokoh masyarakat, dan pemimpin daerah bersama-sama menjadi “penabuh bedug kesadaran”. Mari jangan menunggu “sahur terakhir” untuk bangun dari kelalaian. Jangan biarkan ribuan anak zero dose tetap menjadi angka yang mati dalam laporan kesehatan. Mari kita bergerak hari ini, karena satu dosis imunisasi sekarang bisa menjadi penyelamat hidup di masa depan.
Tung-tung sahur! Jadikan suara ini sebagai simbol kesadaran baru: bahwa imunisasi adalah panggilan kemanusiaan, bukan sekadar prosedur medis. Mari jaga anak-anak Riau agar tumbuh sehat, kuat, dan penuh harapan karena mereka adalah pemimpin masa depan yang sedang kita bentuk hari ini.