Analisis Dampak Psikologis dari Perubahan Cuaca yang Tidak Pasti di Indonesia

Redaksi
Dr. Listyo Yuwanto, Disaster Remote Sensing Analyst dan Psikolog Klinis dari Disaster Network (Foto: Dok. Istimewa)

Haluan Nusantara – Perubahan cuaca di Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan ketidakpastian yang signifikan, menyimpang dari pola musim tradisional. Jika sebelumnya Juni-Juli memasuki musim kemarau, kini hujan masih terjadi dengan variasi intensitas yang fluktuatif tidak selalu berupa curah hujan tinggi, tetapi juga hujan dengan intensitas rendah-sedang yang datang secara tidak terduga. Fenomena ini tidak hanya mengganggu sektor pertanian, transportasi, dan ekonomi, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak psikologis bagi masyarakat. Menurut Dr. Listyo Yuwanto, Disaster Remote Sensing Analyst dan Psikolog Klinis dari Disaster Network Denpasar dampak psikologis dari ketidakpastian cuaca ini perlu dikaji.

Perubahan pola hujan yang tidak menentu di Indonesia memberikan dampak psikologis kompleks yang mencakup aspek negatif dan positif. Pada sisi negatif, ketidakpastian cuaca memicu kecemasan (climate anxiety), di mana masyarakat kesulitan memprediksi kondisi cuaca untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Sebagai contoh petani menjadi bingung menentukan waktu tanam yang tepat karena musim yang tidak menentu, sementara nelayan sering kali ragu untuk melaut akibat potensi hujan tiba-tiba yang dapat membahayakan keselamatan, juga banjir rob yang semakin tinggi dan lama waktunya. Kondisi ini menciptakan perasaan waswas yang terus-menerus, menggerogoti rasa aman dan kendali atas kehidupan sehari-hari. Fluktuasi intensitas hujan yang ekstrem mengganggu rutinitas harian, menyebabkan penurunan produktivitas dan peningkatan stres, sementara minimnya sinar matahari berpotensi memicu bentuk depresi ringan yang ditandai dengan perasaan lesu, kurang energi, dan penurunan motivasi.

Di sisi positif, tantangan ini justru mengasah kemampuan adaptasi masyarakat. Munculnya strategi baru dalam menghadapi ketidakpastian cuaca memperkuat resiliensi psikologis dan kemandirian. Fenomena ini juga mempererat solidaritas sosial melalui praktik saling membantu saat menghadapi cuaca ekstrem. Secara individu, situasi ini melatih fleksibilitas mental dan penerimaan terhadap perubahan, sementara di tingkat komunitas meningkatkan kesadaran lingkungan yang berdampak positif pada kesejahteraan psikologis. Masyarakat diharapkan menjadi lebih peka terhadap isu perubahan iklim dan termotivasi untuk terlibat dalam aksi-aksi pelestarian alam yang pada gilirannya memberikan makna dan tujuan hidup yang lebih positif.

Lihat Juga:  Investor Bertambah Pesat, PLN Jakarta Siapkan Infrastruktur Listrik Andal

Menghadapi ketidakpastian cuaca, Dr. Listyo Yuwanto menyarankan pendekatan komprehensif untuk menjaga kesehatan mental. Masyarakat perlu membangun pola pikir adaptif dengan menerima realitas perubahan iklim sebagai tantangan yang harus dihadapi secara proaktif. Penyusunan rencana cadangan untuk aktivitas bergantung cuaca dan pengembangan alternatif mata pencaharian menjadi kunci mengurangi dampak gangguan.

Teknik relaksasi sederhana seperti pernapasan dalam dan meditasi singkat efektif mengelola kecemasan, sementara jejaring sosial yang kuat berperan sebagai sistem pendukung emosional. Akses informasi cuaca terpercaya dan peningkatan kesadaran lingkungan melalui aksi konkret seperti pengurangan sampah plastik turut membantu adaptasi. Pola hidup sehat dengan gizi seimbang, olahraga teratur, dan istirahat cukup menjadi fondasi ketahanan fisik-mental. Kombinasi strategi ini memungkinkan masyarakat tetap produktif sekaligus menjaga kesejahteraan psikologis di tengah ketidakpastian cuaca.