Saya selalu suka jalan-jalan. Bukan hanya untuk melihat tempat baru, tapi juga untuk memahami budaya yang ada di baliknya. Itulah alasan saya tertarik dengan Desa Kemiren di Banyuwangi, sebuah desa adat yang menjadi pusat budaya Osing.
Kebudayaan Osing adalah warisan leluhur masyarakat Banyuwangi yang masih dijaga hingga sekarang. Suku Osing, yang dikenal sebagai keturunan masyarakat Kerajaan Blambangan, memiliki kebudayaan unik hasil percampuran tradisi Jawa, Bali, Hindu, dan Islam. Hal ini menjadikan budaya Osing berbeda dengan kebudayaan daerah lain di Jawa Timur, sekaligus menjadi identitas khas Banyuwangi.
Salah satu ciri menonjol dari budaya Osing adalah bahasanya yang khas, berbeda dari bahasa Jawa standar. Kesenian tradisionalnya pun penuh warna. Tarian gandrung misalnya, menjadi ikon Banyuwangi yang lahir dari masyarakat Osing.
Selain itu, ada kesenian Seblang yang bersifat sakral sebagai bagian dari ritual tolak bala, serta tradisi Kebo-keboan yang dipercaya membawa keberkahan hasil panen. Berbagai kesenian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana pelestarian nilai-nilai spiritual dan kebersamaan warga.
Hingga kini, budaya Osing terus berkembang seiring modernisasi. Pemerintah daerah bersama masyarakat menjadikan budaya ini sebagai daya tarik wisata, seperti melalui Festival Gandrung Sewu dan beragam agenda budaya lainnya. Dengan begitu, kebudayaan Osing tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Banyuwangi, tetapi juga memperkaya keragaman budaya Nusantara.
***
Terletak hanya 15 menit dari pusat kota Banyuwangi, Desa Kemiren dikenal sebagai “jendela kebudayaan Osing”. Begitu masuk, kita langsung melihat rumah-rumah tradisional dengan atap khas tikel balung atau patah tulang berdiri berdampingan dengan bangunan modern. Rasanya seperti berjalan di antara dua dunia: masa lalu dan masa kini.
Desa Kemiren kini menjadi bagian dari Kampung Berseri Astra (KBA). Melalui program ini, potensi desa dikembangkan di empat pilar: kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan.
Di bidang kesehatan, ada posyandu yang aktif, program pencegahan stunting, hingga penyediaan air bersih. Di bidang pendidikan, ada kelas literasi dan budaya untuk anak-anak, bahkan beasiswa untuk siswa berprestasi. Lingkungan pun dijaga melalui bank sampah dan gerakan penghijauan. Dan di bidang kewirausahaan, warga mengembangkan kopi Osing, pecel pitik, kerajinan tangan, hingga membuka homestay budaya.
Namun, yang mengesankan ialah bagaimana budaya Osing tetap dijaga. Ada ritual Barong Ider Bumi, tradisi ngopi bareng di warung sebagai “parlemen rakyat”, tarian Gandrung yang memukau, hingga Angklung Paglak yang dimainkan di sawah.
Ada juga Janger Osing, kesenian yang memadukan musik, tari, dan dialog berbahasa Osing. Semua ini bukan sekadar tontonan turis, tapi benar-benar bagian dari kehidupan warga. Bagi para seniman di Kemiren, kesenian bukanlah komoditas. Ia menjadi bahasa spiritual yang menghubungkan mereka dengan leluhur dan generasi penerus.
Desa Kemiren membuktikan bahwa modernitas dan tradisi bisa berjalan bersama. Dengan pendampingan PT Astra International Tbk, warga tidak kehilangan identitas justru semakin percaya diri membuka diri pada dunia luar.
Desa ini bisa menjadi ruang belajar hidup: tentang gotong royong, tentang identitas, dan tentang bagaimana sebuah komunitas bisa berdiri tegak di tengah arus globalisasi.
Sebagai seorang yang suka jalan-jalan, Desa Kemiren masuk daftar destinasi wisata yang diidam-idamkan untuk saya datangi.