Ilustrasi: Mencari Keadilan di Era Digital (FOTO: AP/Brian Peterson)) |
Oleh: Afif Delta Alfansyah*
Di dunia yang semakin terhubung melalui media sosial, frase "No Viral, No Justice" menjadi semacam mantra yang menggambarkan fenomena di mana perjuangan untuk mendapatkan keadilan hanya bisa tercapai jika sebuah kasus atau isu mendapatkan perhatian luas di dunia maya. Fenomena ini mencerminkan bagaimana kekuatan viralitas di media sosial dapat mempengaruhi jalannya keadilan, namun juga menimbulkan pertanyaan penting tentang ketidaksetaraan dan ketergantungan pada popularitas online.
Frase "No Viral, No Justice" mencuat sebagai refleksi dari banyak kasus ketidakadilan yang sebelumnya tidak mendapat perhatian yang memadai dari media mainstream atau pihak berwenang, kecuali jika kasus tersebut menjadi viral di media sosial. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat bagaimana video, gambar, atau kisah yang dibagikan di platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi pemicu utama gerakan sosial dan perhatian terhadap isu-isu besar, seperti kekerasan rasial, pelanggaran hak asasi manusia, hingga ketidakadilan sistemik lainnya.
Salah satu contoh yang paling menonjol adalah kasus kematian George Floyd pada tahun 2020. Meskipun kekerasan polisi terhadap warga kulit hitam di Amerika Serikat sudah terjadi selama bertahuntahun, video kematiannya yang terekam oleh seorang saksi dan menjadi viral di media sosial memicu gelombang protes internasional dan menghidupkan kembali gerakan #BlackLivesMatter. Tanpa viralitas video tersebut, kemungkinan besar kasus ini akan kehilangan momentum dan tidak mendapatkan sorotan global yang akhirnya membawa perubahan besar dalam kebijakan dan kesadaran publik.
Dampak Positif: Meningkatkan Kesadaran dan Perubahan Sosial
Kekuatan media sosial dalam memperjuangkan keadilan memiliki dampak positif yang signifikan. Dengan viralitas, isu-isu yang sebelumnya tersembunyi atau diabaikan bisa mendapatkan perhatian yang luas dan mendesak tindakan dari masyarakat dan pihak berwenang. Platform seperti Twitter dan Instagram memungkinkan masyarakat untuk saling berbagi pengalaman, memobilisasi dukungan, dan mempercepat proses perubahan.
Gerakan-gerakan seperti #MeToo, yang menyoroti pelecehan seksual, juga mendapat momentum berkat viralitas di media sosial. Kisah-kisah korban pelecehan yang dulu seringkali dianggap tabu atau dianggap sepele, kini bisa mendapatkan ruang untuk didengar, didukung, dan diteruskan ke jalur hukum.
Viralitas juga berperan penting dalam menekan lembaga-lembaga yang sebelumnya mungkin tidak tanggap terhadap permasalahan tertentu. Tekanan dari masyarakat yang tersebar di media sosial sering kali menjadi salah satu faktor yang membuat pihak berwenang atau organisasi lain bertindak cepat dalam merespons sebuah kasus.
Dampak Negatif: Ketergantungan pada Popularitas Online
Namun, meskipun viralitas media sosial memiliki peran penting dalam menuntut keadilan, ada dampak negatif yang perlu diwaspadai. Ketergantungan pada viralitas bisa mengarah pada ketimpangan dalam hal perhatian yang diberikan kepada kasus-kasus tertentu. Tidak semua isu bisa "menjadi viral," dan ada banyak kasus penting yang mungkin tidak mendapat perhatian publik yang sama hanya karena kurang menarik secara sensasional.
Beberapa kasus juga berisiko hanya mendapat perhatian sesaat. Ketika viralitas mereda, sering kali perhatian terhadap isu tersebut juga menghilang, meninggalkan masalah yang belum sepenuhnya diselesaikan. Misalnya, setelah protes besar-besaran, banyak kasus kekerasan polisi atau ketidakadilan rasial yang mungkin hanya mendapat perhatian dalam jangka pendek, sementara perubahan sistemik yang lebih mendalam membutuhkan komitmen jangka panjang.
Lebih jauh lagi, tidak semua informasi yang tersebar di media sosial selalu akurat. "Viral" tidak selalu berarti "benar." Informasi yang salah atau tidak lengkap dapat menyebar dengan cepat, menyebabkan kebingungan atau ketidakpastian tentang fakta yang ada, yang justru bisa memperburuk situasi.
Peran Media Sosial dalam Pembentukan Opini Publik
Media sosial kini memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk opini publik. Seseorang yang memiliki akun media sosial bisa dengan mudah berbagi pengalaman atau mengungkapkan pendapat tentang isu-isu penting, bahkan jika media mainstream mengabaikannya. Namun, ini juga berarti bahwa opini publik sering kali dibentuk oleh apa yang "terlihat" di media sosial, bukan berdasarkan penelitian atau pemahaman mendalam.
Sementara platform media sosial memungkinkan berbagai suara terdengar, masalahnya adalah, mereka juga memungkinkan terjadinya "bubble" atau ruang informasi tertutup, di mana hanya pandangan atau informasi tertentu yang diprioritaskan, sementara perspektif lain yang mungkin lebih penting atau lebih objektif, terabaikan.
Mencari Solusi: Keadilan yang Berkelanjutan
Untuk benar-benar mencapai keadilan, kita tidak bisa hanya bergantung pada viralitas. Meskipun media sosial memainkan peran penting dalam mendorong kesadaran dan mendorong perubahan, keadilan harus tetap dicapai melalui upaya yang lebih sistemik dan berkelanjutan. Pemerintah, lembaga penegak hukum, dan organisasi masyarakat sipil harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa isu-isu penting mendapatkan perhatian, tidak hanya ketika viralitas menjadi pusat perhatian.
Di sisi lain, kita sebagai pengguna media sosial juga harus bertanggung jawab dalam memperjuangkan keadilan. Tidak cukup hanya dengan berbagi dan menyebarkan informasi, tetapi kita perlu melibatkan diri dalam mendukung kebijakan yang mendesak perubahan jangka panjang. Mengedukasi diri kita sendiri tentang isu-isu yang ada dan mendorong tindakan nyata di luar dunia maya akan memberikan dampak yang jauh lebih besar dalam menciptakan perubahan.
* Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Lampung